-->

Patogenesis Lepra atau Kusta Pada Manusia

 Patogenesis Lepra atau Kusta- Kusta atau Lepra adalah infeksi kronik granulomatosa yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Penyakit ini biasanya menyerang kulit dan saraf tepi namun juga dapat mengenai otot, mata, tulang, testis dan organ lainnya (Lee dkk, 2012; Thorat dan Sharma, 2010). Nah maka dari itu artikel ini telah menuliskan bahasan patogenesis Lepra atau Kusta pada manusia. Untuk bisa mengetahui dengan lebih lanjut silahkan di simak dengan sebagai berikut ini.


Patogenesis Lepra atau Kusta Pada Manusia Kusta ditandai dengan spektrum klinis yang luas berdasarkan respon imunitas seluler pejamu. Penderita kusta tipe tuberkuloid menunjukkan adanya respon imunitas seluler yang dimediasi oleh Th1, berupa IFN-γ, IL-2 dan TNFα yang menunjukkan adanya respon hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen M. leprae. Hal ini ditandai dengan terbentuknya granuloma dan dominasi sel T CD4+ dan gambaran klinis berupa gangguan saraf tepi yang jelas namun jumlah basil serta lesi yang sedikit. Sebaliknya kusta tipe lepromatosa dihubungkan dengan respon imun yang dimediasi oleh sel Th2, berupa IL-4, IL-5, IL-6 dan IL10 yang tidak responsif terhadap antigen M. leprae, predominan sel T CD8+ serta tidak terbentuk granuloma. Terdapat pula kelompok kusta tipe borderline yang menunjukan pola sistem imunitas diantara kedua kutub kusta. (Gulia dkk., 2010; Nath dan Chaduvula, 2010; Misch dkk, 2010).  Pada tahap awal M. leprae dikenali oleh beberapa reseptor imunitas alamiah termasuk Toll-like receptor (TLR). Toll-like receptor2 membentuk heterodimer dengan TLR1 untuk mengenali komponen mikobakterium seperti protein 19-kDa dan lipopeptida lainnya (Misch dkk; 2010). Lipoglikan lipomanan (LM) dan manosa atau arabinose-capped lipoarabinomanan (ManLAM dan AraLAM) merupakan faktor virulensi utama pada spesies mikobakterium berperan sebagai agonis poten TLR1/2 dan berkontribusi pada aktivasi makrofag dan imunomodulasi respon pejamu. Selain itu, stimulasi makrofag oleh molekul LAM M. leprae yang telah dimurnikan, menunjukkan penurunan pelepasan IFN γ oleh makrofag, penurunan proliferasi dan aktivasi sel T. (Hart dan Tapping, 2012).  Sel Schwann pada saraf perifer merupakan target utama infeksi oleh M. leprae. Kerusakan saraf perifer dapat disebabkan secara langsung oleh M. leprae maupun melalui respon imunitas. Mycobacterium leprae dapat menginvasi sel Schwann melalui ikatan PGL-1 dengan domain G pada rantai α2 laminin-2 yang terdapat pada membran sel Schwann. Laminin binding protein 21 (LBP-21) berperan memediasi masuknya M. leprae menuju ke intraseluler sel schwann, selanjutnya internalisasi M. leprae akan menyebabkan demielinisasi saraf perifer diakibatkan oleh ikatan langsung antara bakteri dengan reseptor neuregulin, aktivasi ErB2 dan Erk1/2 dan aktivasi Mitogen Activated Protein (MAP) kinase (Misch dkk; 2010; Renault dan Ernst, 2015). Demielinisasi oleh M. leprae akan memicu invasi lebih lanjut karena M. leprae lebih menyukai unit akson yang tidak bermielin. Mekanisme kerusakan saraf secara langsung ini terutama berperan pada kusta tipe multibasiler (Renault dan Ernst, 2015).  Diagnosis dini dan monitoring fungsi saraf dapat dibantu dengan pemeriksaan sensibilitas menggunakan monofilamen yang lebih sensitif dibanding dengan menggunakan kapas dan jarum pentul. Monofilamen adalah suatu benang nilon yang dapat melengkung elastis saat diberi tekanan tegak lurus. (Shahiduzzaman, 2011; Chen, 2004). Menurut penelitian oleh Neto pada tahun 2015 di Brazil pada 400 pasien kusta, didapatkan 93% pasien sedikitnya memiliki 1 gejala sensoris, dan hipoestesia merupakan gejala tersering. Gejala motoris dialami 59% penderita, dan penebalan saraf dialami 50,25% penderita. Pada tipe lepromatosa kerusakan saraf ditandai dengan hilangnya sensibilitas minimal (Neto, 2015). Gejala awal infeksi saraf berupa penurunan sensibilitas raba, nyeri, dan suhu, dapat disertai gejala awal neuritis yaitu kesemutan, nyeri neuropatik, dan penebalan saraf (Rao, 2010).  Salah satu kekurangan pemeriksaan monofilamen adalah tingginya angka subjektivitas, untuk itu mulai dikembangkan pemeriksaan elektroneurografi (ENG) yaitu suatu pemeriksaan untuk menilai kecepatan konduksi saraf sensorik dan motorik. Pemeriksaan ini berguna dalam mengidentifikasi dan membedakan gangguan mono atau polineuropati, neuropati aksonal ataupun neuropati demyelinating. Neuropati awal pada kusta ditandai dengan kerusakan demyelinating, sehingga dengan pemeriksaan ENG dapat mengkonfirmasi diagnosis neuropati dan mendeteksi saraf yang rusak secara dini sehingga risiko kecacatan kusta bisa diminimalkan (Reni, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Tzourio dkk melaporkan bahwa tidak adanya korelasi anatara gejala neurologis dan pemeriksaan ENG pada pasien kusta. Akan tetapi pada studi tersebut terdapat kelemahan karena pemeriksaan ENG hanya dilakukan pada beberapa pasien. (Skacel dkk., 2000). Hipotesis kerusakan saraf yang dimediasi oleh sistem imun diduga disebabkan karena pelepasan sitokin proinflamasi antara lain TNF, IL-12, IL-16, IL-18, 1L-15 dan IL-1β oleh monosit atau makrofag. Protein 19-kDa yang dikenali oleh TLR1/2 menginduksi pelepasan sitokin proinflamasi dan menginduksi apoptosis sel Schwann, selain itu sel Schwann yang terpapar secara in vitro terhadap neuron yang mengalami nekrosis memproduksi TNF dan nitric oxide yang merupakan mediator inflamasi poten. Pada tingkat jaringan, kerusakan saraf disebabkan karena influks sel imunitas dan cairan interstisial (edema) pada saraf sehingga terjadi kompresi dan iskemia (Misch dkk; 2010; Renault dan Ernst, 2015). Selain sel Schwann, makrofag merupakan sel host yang paling banyak berinteraksi pada M. leprae. Fagositosis M. leprae oleh makrofag dimediasi oleh reseptor komplemen CR1(CD35), CR3 (CD11b/CD18), dan CR4 (CD11c/CD18) dan diregulasi oleh protein kinase (Bath dan Prakash, 2012).    Nah itu dia bahasan dari patogenesis Lepra atau Kusta pada manusia, melalui bahasan di atas bisa diketahui mengenai patogenesis Lepra atau Kusta pada manusia. Mungkin hanya itu yang bisa disampaikan di dalam artikel ini, mohon maaf bila terjadi kesalahan di dalam penulisan, dan terimakasih telah membaca artikel ini."God Bless and Protect Us"
Patogenesis Lepra atau Kusta


Patogenesis Lepra atau Kusta Pada Manusia

Kusta ditandai dengan spektrum klinis yang luas berdasarkan respon imunitas seluler pejamu. Penderita kusta tipe tuberkuloid menunjukkan adanya respon imunitas seluler yang dimediasi oleh Th1, berupa IFN-γ, IL-2 dan TNFα yang menunjukkan adanya respon hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen M. leprae. Hal ini ditandai dengan terbentuknya granuloma dan dominasi sel T CD4+ dan gambaran klinis berupa gangguan saraf tepi yang jelas namun jumlah basil serta lesi yang sedikit. Sebaliknya kusta tipe lepromatosa dihubungkan dengan respon imun yang dimediasi oleh sel Th2, berupa IL-4, IL-5, IL-6 dan IL10 yang tidak responsif terhadap antigen M. leprae, predominan sel T CD8+ serta tidak terbentuk granuloma. Terdapat pula kelompok kusta tipe borderline yang menunjukan pola sistem imunitas diantara kedua kutub kusta. (Gulia dkk., 2010; Nath dan Chaduvula, 2010; Misch dkk, 2010).

Pada tahap awal M. leprae dikenali oleh beberapa reseptor imunitas alamiah termasuk Toll-like receptor (TLR). Toll-like receptor2 membentuk heterodimer dengan TLR1 untuk mengenali komponen mikobakterium seperti protein 19-kDa dan lipopeptida lainnya (Misch dkk; 2010). Lipoglikan lipomanan (LM) dan manosa atau arabinose-capped lipoarabinomanan (ManLAM dan AraLAM) merupakan faktor virulensi utama pada spesies mikobakterium berperan sebagai agonis poten TLR1/2 dan berkontribusi pada aktivasi makrofag dan imunomodulasi respon pejamu. Selain itu, stimulasi makrofag oleh molekul LAM M. leprae yang telah dimurnikan, menunjukkan penurunan pelepasan IFN γ oleh makrofag, penurunan proliferasi dan aktivasi sel T. (Hart dan Tapping, 2012).

Sel Schwann pada saraf perifer merupakan target utama infeksi oleh M. leprae. Kerusakan saraf perifer dapat disebabkan secara langsung oleh M. leprae maupun melalui respon imunitas. Mycobacterium leprae dapat menginvasi sel Schwann melalui ikatan PGL-1 dengan domain G pada rantai α2 laminin-2 yang terdapat pada membran sel Schwann. Laminin binding protein 21 (LBP-21) berperan memediasi masuknya M. leprae menuju ke intraseluler sel schwann, selanjutnya internalisasi M. leprae akan menyebabkan demielinisasi saraf perifer diakibatkan oleh ikatan langsung antara bakteri dengan reseptor neuregulin, aktivasi ErB2 dan Erk1/2 dan aktivasi Mitogen Activated Protein (MAP) kinase (Misch dkk; 2010; Renault dan Ernst, 2015). Demielinisasi oleh M. leprae akan memicu invasi lebih lanjut karena M. leprae lebih menyukai unit akson yang tidak bermielin. Mekanisme kerusakan saraf secara langsung ini terutama berperan pada kusta tipe multibasiler (Renault dan Ernst, 2015).

Diagnosis dini dan monitoring fungsi saraf dapat dibantu dengan pemeriksaan sensibilitas menggunakan monofilamen yang lebih sensitif dibanding dengan menggunakan kapas dan jarum pentul. Monofilamen adalah suatu benang nilon yang dapat melengkung elastis saat diberi tekanan tegak lurus. (Shahiduzzaman, 2011; Chen, 2004). Menurut penelitian oleh Neto pada tahun 2015 di Brazil pada 400 pasien kusta, didapatkan 93% pasien sedikitnya memiliki 1 gejala sensoris, dan hipoestesia merupakan gejala tersering. Gejala motoris dialami 59% penderita, dan penebalan saraf dialami 50,25% penderita. Pada tipe lepromatosa kerusakan saraf ditandai dengan hilangnya sensibilitas minimal (Neto, 2015). Gejala awal infeksi saraf berupa penurunan sensibilitas raba, nyeri, dan suhu, dapat disertai gejala awal neuritis yaitu kesemutan, nyeri neuropatik, dan penebalan saraf (Rao, 2010).

Salah satu kekurangan pemeriksaan monofilamen adalah tingginya angka subjektivitas, untuk itu mulai dikembangkan pemeriksaan elektroneurografi (ENG) yaitu suatu pemeriksaan untuk menilai kecepatan konduksi saraf sensorik dan motorik. Pemeriksaan ini berguna dalam mengidentifikasi dan membedakan gangguan mono atau polineuropati, neuropati aksonal ataupun neuropati demyelinating. Neuropati awal pada kusta ditandai dengan kerusakan demyelinating, sehingga dengan pemeriksaan ENG dapat mengkonfirmasi diagnosis neuropati dan mendeteksi saraf yang rusak secara dini sehingga risiko kecacatan kusta bisa diminimalkan (Reni, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Tzourio dkk melaporkan bahwa tidak adanya korelasi anatara gejala neurologis dan pemeriksaan ENG pada pasien kusta. Akan tetapi pada studi tersebut terdapat kelemahan karena pemeriksaan ENG hanya dilakukan pada beberapa pasien. (Skacel dkk., 2000). Hipotesis kerusakan saraf yang dimediasi oleh sistem imun diduga disebabkan karena pelepasan sitokin proinflamasi antara lain TNF, IL-12, IL-16, IL-18, 1L-15 dan IL-1β oleh monosit atau makrofag. Protein 19-kDa yang dikenali oleh TLR1/2 menginduksi pelepasan sitokin proinflamasi dan menginduksi apoptosis sel Schwann, selain itu sel Schwann yang terpapar secara in vitro terhadap neuron yang mengalami nekrosis memproduksi TNF dan nitric oxide yang merupakan mediator inflamasi poten. Pada tingkat jaringan, kerusakan saraf disebabkan karena influks sel imunitas dan cairan interstisial (edema) pada saraf sehingga terjadi kompresi dan iskemia (Misch dkk; 2010; Renault dan Ernst, 2015). Selain sel Schwann, makrofag merupakan sel host yang paling banyak berinteraksi pada M. leprae. Fagositosis M. leprae oleh makrofag dimediasi oleh reseptor komplemen CR1(CD35), CR3 (CD11b/CD18), dan CR4 (CD11c/CD18) dan diregulasi oleh protein kinase (Bath dan Prakash, 2012).


Nah itu dia bahasan dari patogenesis Lepra atau Kusta pada manusia, melalui bahasan di atas bisa diketahui mengenai patogenesis Lepra atau Kusta pada manusia. Mungkin hanya itu yang bisa disampaikan di dalam artikel ini, mohon maaf bila terjadi kesalahan di dalam penulisan, dan terimakasih telah membaca artikel ini."God Bless and Protect Us"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel