-->

Etiologi dan Patofisiologi Autisme Pada Manusia

 Etiologi dan Patofisiologi Autisme- Autisme adalah suatu keadaan dimana seseorang anak berbuat semaunya sendiri baik secara berpikir maupun berprilaku. Keadaan ini terjadi sejak usia 2-3 tahun tanpa memandang sosial ekonomi mapan maupun kurang, atau atau dewasa dan semua etnis (Yatim, 2002). Nah maka dari itu artikel ini telah menuliskan bahasan etiologi dan patofisiologi autisme pada manusia. Untuk bisa mengetahui dengan lebih lanjut silahkan di simak dengan sebagai berikut ini.


Etiologi dan Patofisiologi Autisme Pada Manusia Menurut Sari (2009) autis merupakan penyakit yang bersifat multifaktor. Teori mengenai penyebab dari autis diantaranya adalah sebagai berikut :  Faktor Genetika Penelitian faktor genetik pada anak autistik masih terus dilakukan. Sampai saat ini ditemukan sekitar 20 gen yang berkaitan dengan autisme. Namun kejadian autisme baru bisa muncul jika terjadi kombinasi banyak gen. Bisa saja gejala autisme tidak muncul meskipun anak tersebut membawa gen autisme (Budhiman, M; Shattock, P; Ariani, E, 2002). Jumlah anak berjenis kelamin laki-laki yang menderita autis lebih banyak dibandingkan perempuan, hal ini diduga karena adanya gen atau beberapa gen atau beberapa gen pada kromosom X yang terlibat dengan autis. Perempuan memiliki dua kromosom X, sementara laki-laki memiliki satu kromosom X. Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa gen pada kromosom X bukanlah penyebab utama autis, namun suatu gen pada kromosom X yang mempengaruhi interaksi sosial dapat mempunyai andil pada perilaku yang berkaitan dengan autis ( Mujiyanti, 2011).  Menurut laporan Journal Nature Genetics, gen neuroxin yang ditemukan pada kromosom manusia no.11 merupakan salah satu gen yang berperan penting dalam terjadinya sindrom autisme. Neuroxin merupakan protein yang berperan dalam membantu komunikasi sel saraf. Salah satu protein dari family neuroxin yang dikodekan oleh gen CNTNAP2 (Contactine Assosiates Protein-like 2) berfungsi sebagai molekul reseptor pada sel saraf. Pada saat dalam kandungan, ketika sampel darah janin diambil dan dianalisis, anak autis mengalami peningkatan protein dalam darah, yaitu tiga kali lebih tinggi dibanding dengan anak normal (Winarno, 2013).    Kelainan Anatomis Otak  Menurut Winarno (2013) otak anak autis mengalami pertumbuhan dengan laju kecepatan yang tidak normal, khususnya pada usia 2 tahun, dan memiliki puzzling sign of inflammation (peradangan yang membingungkan). Bagian corpus callosum, biasanya pada anak autis berukuran lebih kecil. Corpus callosum merupakan pita tenunan pengikat yang menghubungkan hemisphere otak kanan dan otak kiri. Kegiatan crossing bagian otak yang berbeda menjadi kurang terkoordinir sehingga lalu lintas stimulus tidak harmonis.  Sedangkan menurut Mujiyanti (2011) kelainan stimulus otak ditemukan khususnya di lobus parietalis dan serebelum. Serta pada sistem limbiknya. Sebanyak 43% penyandang autisme mempunyai kelainan di lobus parietalis otaknya, yang menyebabkan anak tampak acuh terhadap lingkungannya. Kelainan juga ditemukan pada otak kecil (serebelum), terutama pada nervus ke VI dan VII. Otak kecil bertanggung jawab atas proses sensoris, daya ingat, berfikir, belajar berbahasa dan proses atensi (perhatian). Kelainan khas juga ditemukan pada sistem limbik yang disebut hipokampus dan amigdala. Kelainan tersebut menyebabkan kelainan fungsi kontrol terhadap agresi dan emosi.    Disfungsi Metabolik Disfungsi metabolik terutama berhubungan dengan kemampuan memecah komponen asam amino phenolik. Amino phenolik banyak ditemukan di berbagai makanan dan dilaporkan komponen utamanya dapat menyebabkan terjadinya gangguan tingkah laku pada pasien autis. Sebuah publikasi dari lembaga psikiatri biologi menemukan bahwa anak autis mempunyai kapasitas rendah untuk menggunakan berbagai komponen sulfat sehingga anak-anak tersebut tidak mampu memetabolisme komponen amino phenolik. Komponen animo phenolik merupakan bahan baku pembentukan neurotransmitter, jika komponen tersebut tidak dimetabolisme dengan baik akan terjadi akumulasi katekolamin yang toksik bagi syaraf. Makanan yang mengandung amino phenolitik itu adalah : terigu (gandum), jagung, gula, coklat, pisang dan apel (Mujiyanti, 2011).    Infeksi Kandidiasis Anak-anak dengan sistem imun tubuh yang terganggu dan usus yang meradang sangat mudah diserang oleh jamur khususnya jamur dari spesies Candida. Kultur feces dan tes-tes laboratorium lainnya seringkali mengidentifikasi pertumbuhan Candida albicans yang berlebihan. Ternyata beberapa riset mengidentifikasikan bahwa beberapa spesies Candida dan jamur lainnya dapat menjadi penyebab utama dari banyak tingkah laku yang tidak pantas dan masalah kesehatan yang terlihat pada pasien autistik (McCandless, 2003).  Infeksi Candida Albicans berat bisa dijumpai pada anak yang banyak mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung yeast dan karbohidrat, karena dengan adanya makanan tersebut Candida dapat tumbuh dengan subur. Makanan ini dilaporkan dapat menyebabkan anak menjadi autis. Penelitian sebelumnya menemukan adanya hubungan antara beratnya infeksi Candida Albicans dengan gejala-gejala menyerupai autis seperti gangguan berbahasa, gangguan tingkah laku dan penurunan kontak mata (Mujiyanti, 2011).    Teori Kelebihan Opioid dan Hubungannya Dengan Diet Protein Kasein dan Protein Gluten Aktivasi opioid yang tinggi akan berpengaruh terhadap persepsi, kognisi dan emosi penyandang autis. Peptide tersebut berasal dari pencernaan makanan yang tidak sempurna khususnya gluten dan kasein. Gluten berasal dari gandum dan biji-bijian (sereal) seperti barley, rye (gandum hitam) dan oats. Kasein berasal dari susu dan produk susu. Karena adanya kebocoran usus (leaky gut) maka terjadi peningkatan jumlah peptide yang masuk ke darah. Karena adanya peningkatan jumlah peptide yang terbentuk diusus sehingga yang masuk ke aliran darah pun relative lebih banyak, demikian juga yang melewati sawar darah otak. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan perilaku yang tampak secara klinis (Nugraheni, 2008).  Pencernaan anak autis terhadap kasein dan gluten tidak sempurna. Kedua potein ini hanya terpecah sampai polipeptida. Polipeptida dari kedua protein tersebut terserap dalam aliran darah dan menimbulkan “efek morfin” di otak anak. Pori-pori yang tidak lazim kebanyakan ditemukan di membrane saluran cerna pasien autis, yang menyebabkan masuknya peptide didalam darah. Hasil metabolisme gluten adalah protein gliadin. Gliadin akan berikatan dengan reseptor opioid C dan D. Reseptor tersebut berhubungan dengan mood dan tingkah laku. Diet sangat ketat bebas gluten dan casein menurunkan kadar peptide opioid serta dapat mempengaruhi gejala autis pada beberapa anak. Sehingga, implementasi diet merupakan terobosan yang baik untuk memperoleh kesembuhan pasien (Mujiyanti, 2011).    Nah itu dia bahasan dari etiologi dan patofisiologi Autisme pada manusia, melalui bahasan di atas bisa diketahui mengenai etiologi dan patofisiologi Autisme pada manusia. Mungkin hanya itu yang bisa disampaikan di dalam artikel ini, mohon maaf bila terjadi kesalahan di dalam penulisan, dan terimakasih telah membaca artikel ini."God Bless and Protect Us"
Etiologi dan Patofisiologi Autisme


Etiologi dan Patofisiologi Autisme Pada Manusia

Menurut Sari (2009) autis merupakan penyakit yang bersifat multifaktor. Teori mengenai penyebab dari autis diantaranya adalah sebagai berikut :

Faktor Genetika

Penelitian faktor genetik pada anak autistik masih terus dilakukan. Sampai saat ini ditemukan sekitar 20 gen yang berkaitan dengan autisme. Namun kejadian autisme baru bisa muncul jika terjadi kombinasi banyak gen. Bisa saja gejala autisme tidak muncul meskipun anak tersebut membawa gen autisme (Budhiman, M; Shattock, P; Ariani, E, 2002). Jumlah anak berjenis kelamin laki-laki yang menderita autis lebih banyak dibandingkan perempuan, hal ini diduga karena adanya gen atau beberapa gen atau beberapa gen pada kromosom X yang terlibat dengan autis. Perempuan memiliki dua kromosom X, sementara laki-laki memiliki satu kromosom X. Sejumlah penelitian menyimpulkan bahwa gen pada kromosom X bukanlah penyebab utama autis, namun suatu gen pada kromosom X yang mempengaruhi interaksi sosial dapat mempunyai andil pada perilaku yang berkaitan dengan autis ( Mujiyanti, 2011).

Menurut laporan Journal Nature Genetics, gen neuroxin yang ditemukan pada kromosom manusia no.11 merupakan salah satu gen yang berperan penting dalam terjadinya sindrom autisme. Neuroxin merupakan protein yang berperan dalam membantu komunikasi sel saraf. Salah satu protein dari family neuroxin yang dikodekan oleh gen CNTNAP2 (Contactine Assosiates Protein-like 2) berfungsi sebagai molekul reseptor pada sel saraf. Pada saat dalam kandungan, ketika sampel darah janin diambil dan dianalisis, anak autis mengalami peningkatan protein dalam darah, yaitu tiga kali lebih tinggi dibanding dengan anak normal (Winarno, 2013).


Kelainan Anatomis Otak 

Menurut Winarno (2013) otak anak autis mengalami pertumbuhan dengan laju kecepatan yang tidak normal, khususnya pada usia 2 tahun, dan memiliki puzzling sign of inflammation (peradangan yang membingungkan). Bagian corpus callosum, biasanya pada anak autis berukuran lebih kecil. Corpus callosum merupakan pita tenunan pengikat yang menghubungkan hemisphere otak kanan dan otak kiri. Kegiatan crossing bagian otak yang berbeda menjadi kurang terkoordinir sehingga lalu lintas stimulus tidak harmonis.

Sedangkan menurut Mujiyanti (2011) kelainan stimulus otak ditemukan khususnya di lobus parietalis dan serebelum. Serta pada sistem limbiknya. Sebanyak 43% penyandang autisme mempunyai kelainan di lobus parietalis otaknya, yang menyebabkan anak tampak acuh terhadap lingkungannya. Kelainan juga ditemukan pada otak kecil (serebelum), terutama pada nervus ke VI dan VII. Otak kecil bertanggung jawab atas proses sensoris, daya ingat, berfikir, belajar berbahasa dan proses atensi (perhatian). Kelainan khas juga ditemukan pada sistem limbik yang disebut hipokampus dan amigdala. Kelainan tersebut menyebabkan kelainan fungsi kontrol terhadap agresi dan emosi.


Disfungsi Metabolik

Disfungsi metabolik terutama berhubungan dengan kemampuan memecah komponen asam amino phenolik. Amino phenolik banyak ditemukan di berbagai makanan dan dilaporkan komponen utamanya dapat menyebabkan terjadinya gangguan tingkah laku pada pasien autis. Sebuah publikasi dari lembaga psikiatri biologi menemukan bahwa anak autis mempunyai kapasitas rendah untuk menggunakan berbagai komponen sulfat sehingga anak-anak tersebut tidak mampu memetabolisme komponen amino phenolik. Komponen animo phenolik merupakan bahan baku pembentukan neurotransmitter, jika komponen tersebut tidak dimetabolisme dengan baik akan terjadi akumulasi katekolamin yang toksik bagi syaraf. Makanan yang mengandung amino phenolitik itu adalah : terigu (gandum), jagung, gula, coklat, pisang dan apel (Mujiyanti, 2011).


Infeksi Kandidiasis

Anak-anak dengan sistem imun tubuh yang terganggu dan usus yang meradang sangat mudah diserang oleh jamur khususnya jamur dari spesies Candida. Kultur feces dan tes-tes laboratorium lainnya seringkali mengidentifikasi pertumbuhan Candida albicans yang berlebihan. Ternyata beberapa riset mengidentifikasikan bahwa beberapa spesies Candida dan jamur lainnya dapat menjadi penyebab utama dari banyak tingkah laku yang tidak pantas dan masalah kesehatan yang terlihat pada pasien autistik (McCandless, 2003).

Infeksi Candida Albicans berat bisa dijumpai pada anak yang banyak mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung yeast dan karbohidrat, karena dengan adanya makanan tersebut Candida dapat tumbuh dengan subur. Makanan ini dilaporkan dapat menyebabkan anak menjadi autis. Penelitian sebelumnya menemukan adanya hubungan antara beratnya infeksi Candida Albicans dengan gejala-gejala menyerupai autis seperti gangguan berbahasa, gangguan tingkah laku dan penurunan kontak mata (Mujiyanti, 2011).


Teori Kelebihan Opioid dan Hubungannya Dengan Diet Protein Kasein dan Protein Gluten

Aktivasi opioid yang tinggi akan berpengaruh terhadap persepsi, kognisi dan emosi penyandang autis. Peptide tersebut berasal dari pencernaan makanan yang tidak sempurna khususnya gluten dan kasein. Gluten berasal dari gandum dan biji-bijian (sereal) seperti barley, rye (gandum hitam) dan oats. Kasein berasal dari susu dan produk susu. Karena adanya kebocoran usus (leaky gut) maka terjadi peningkatan jumlah peptide yang masuk ke darah. Karena adanya peningkatan jumlah peptide yang terbentuk diusus sehingga yang masuk ke aliran darah pun relative lebih banyak, demikian juga yang melewati sawar darah otak. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan perilaku yang tampak secara klinis (Nugraheni, 2008).

Pencernaan anak autis terhadap kasein dan gluten tidak sempurna. Kedua potein ini hanya terpecah sampai polipeptida. Polipeptida dari kedua protein tersebut terserap dalam aliran darah dan menimbulkan “efek morfin” di otak anak. Pori-pori yang tidak lazim kebanyakan ditemukan di membrane saluran cerna pasien autis, yang menyebabkan masuknya peptide didalam darah. Hasil metabolisme gluten adalah protein gliadin. Gliadin akan berikatan dengan reseptor opioid C dan D. Reseptor tersebut berhubungan dengan mood dan tingkah laku. Diet sangat ketat bebas gluten dan casein menurunkan kadar peptide opioid serta dapat mempengaruhi gejala autis pada beberapa anak. Sehingga, implementasi diet merupakan terobosan yang baik untuk memperoleh kesembuhan pasien (Mujiyanti, 2011).


Nah itu dia bahasan dari etiologi dan patofisiologi Autisme pada manusia, melalui bahasan di atas bisa diketahui mengenai etiologi dan patofisiologi Autisme pada manusia. Mungkin hanya itu yang bisa disampaikan di dalam artikel ini, mohon maaf bila terjadi kesalahan di dalam penulisan, dan terimakasih telah membaca artikel ini."God Bless and Protect Us"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel