-->

Patologi Guillain Barre Syndrome ( GBS ) Pada Tubuh Manusia

GBS- merupakan sebuah gangguan atau kelainan sistem kekebalan pada tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dengan karakterisasi berupa kelemahan atau areflksia dari saraf motorik yang memiliki sifat yang progresif. Namun sebelum lanjut membaca artikel ini akan membahas mengenai patologi guillain barre syndrome (GBS), untuk mengetahui lebih lanjut silahkan simak bahasan dibawah ini.

Patologi Guillain Barre Syndrome ( GBS ) Pada Tubuh Manusia  1. Pengertian Guillain Barre Syndrome  Guillain Barre Syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya progresif. Kelainan ini kadang-kadang juga menyerang saraf sensoris, otonom, maupun susunan saraf pusat.  2. Pengertian Akson dan Selaput Myelin  Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan.  Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier, dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat. Sel Saraf  3. Etiologi Guillain Barre Syndrome  Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena hilangnya myelin, material yang membungkus saraf. Hilangnya myelin ini disebut demyelinisasi. Demyelinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali. GBS menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang beberapa saraf.  Oleh karena itu GBS disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP). Meskipun sebagian besar penderita GBS dapat sembuh spontan, namun lama perjalanan penyakit GBS tidak dapat diprediksi dan sering membutuhkan perawatan rumah sakit dan rehabilitasi selama berbulan-bulan. Seiring dengan kembalinya suplai saraf, penderita membutuhkan bantuan untuk mampu menggunakan otot-otot yang terpengaruh oleh GBS secara optimal.  Penyebab terjadinya GBS sampai saat ini belum diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit autoimun. Namun karena kebanyakan kasus terjadi sesudah proses infeksi, diduga GBS terjadi karena sistem kekebalan tidak berfungsi. Gejalanya adalah kelemahan otot (parese hingga plegia), biasanya perlahan, mulai dari bawah ke atas.  Jadi gejala awalnya biasanya tidak bisa berjalan, atau gangguan berjalan. Sebaliknya penyembuhannya diawali dari bagian atas tubuh ke bawah, sehingga bila ada gejala sisa biasanya gangguan berjalan (Fredericks et all 1996). Setelah fase akut terlewati, pasien membutuhkan rehabilitasi untuk mencapai fungsi tubuh yang telah hilang.   Rehabilitasi ditujukan terutama untuk memperbaiki fungsi aktivitas sehari-hari (AKS), seperti menggosok gigi, mencuci dan berpakaian. Tujuan terapi fisik adalah untuk menstimulasi otot dan sendi, melalui berbagai gerakan fisik dan latihan; sehingga terbentuk kekuatan, fleksibilitas, dan lingkup gerak sendi yang optimal.   Seorang fisioterapi akan melakukan program latihan progresif dan memberikan petunjuk mengenai gerakan fungsional yang benar, sehingga tidak terjadi kompensasi gerakan yang salah saat penyembuhan. Terapis okupasi memfokuskan terapi pada aktivitas untuk membantu pasien melakukan aktivitasnya sehari-hari secara optimal.   Dalam terapi, digunakan beberapa alat bantu tambahan seperti brace pada tungkai atau lengan, cane, walker, dan kursi roda untuk membantu mobilisasinya selama fase penyembuhan atau sekiranya GBS membuat penderita hidup dengan disabilitas yang permanen. Penggunaan alat potong bantuan juga diperlukan untuk membuat pasien mandiri dengan aktifitasnya.  Seorang terapis wicara juga berperan penting dalam meningkatkan kemampuan bicara dan menelan pasien. Terapis wicara akan memperbaiki kemampuan penderita dalam berkomunikasi. Semua ini akan tergabung dalam tim dimana dokter, perawat, dan anggota tim medis lainnya dengan pengetahuannya masing-masing, sehingga dapat menentukan tujuan terapi dan prioritas terapi berdasarkan tujuan tersebut. Setelah rehabilitasi, pasien harus mampu berfungsi secara utuh di lingkungan rumahnya masing-masing.  4. Patofisiologi Guillain Barre Syndrome  Ada beberapa teori mengenai pembentukan autoantibodi, yang pertama adalah virus dan bakteri mengubah susunan sel-sel saraf sehingga sistem imun tubuh mengenalinya sebagai benda asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut menyebabkan kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri berkurang. Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan destruksi myelin bahkan kadang-kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon.  Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel-sel saraf tidak dapat mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih sedikit impuls sensoris dari seluruh bagian tubuh. Pemeriksaan secara patologis pada saraf penderita penyakit Guillain Barre Syndrome menunjukkan kalau terjadi proses penghancuran selaput myelin pada saraf tepi.  Baik pada pangkalnya (akar saraf) ataupun pada bagian yang lebih ujung (distal). Pada umumnya yang terserang akar saraf tulang belakang bagian depan (anterior root nerves of spinal cord), tetapi tidak menutup kemungkinan akar saraf bagian belakang (posterior root nerves of spinal cord). Uniknya selaput myelin yang terserang dimulai dari saraf tepi paling bawah, terus naik ke saraf tepi yang lebih tinggi (Fredericks et all 1996, dan Nolte 1999).   Fungsi selaput myelin adalah mempercepat konduksi saraf. Oleh karenanya hancurnya selaput ini mengakibatkan keterlambatan konduksi saraf, bahkan mungkin terhenti sama sekali (Nolte 1999). Sehingga penderita GBS mengalami gangguan motor dan sensorik. Kelambatan kecepatan konduksi otot bisa dilihat dari hasil pemeriksaan EMG.   Disamping itu, hancurnya selaput myelin mungkin juga menyerang cranial nerves (Pryor & Webber 1998) termasuk diantaranya nervus vagus, yang merupakan bagian dari sistem saraf otonomik. Oleh karena itu, bila saraf yang terserang cukup tinggi tingkatnya, sistem saraf otonomik mungkin saja terganggu. Selain nervus vagus, cranial nerves yang lain mungkin saja terserang, misalnnya saraf ke-XI.  Gangguan motorik yang pada GBS diawali dengan kelemahan otot bagian bawah. Mula-mula yang dirasakan kelemahan (parese), bila berlanjut menjadi lumpuh (plegia). Diawali dari gangguan berjalan, seperti misalnya kaki ‘terseret’, hingga tidak bisa berdiri. Perlahan-lahan kelemahan ‘naik’ otot lebih tinggi, seperti lutut dan paha, sehingga penderita tidak bisa berdiri.   Bila yang berlanjut kelemahan otot bisa terjadi pada otot di sepajang tulang punggung, punggung dan dada. Terus hingga ke tangan dan lengan. Bila otot-otot pernafasan terganggu, akan terjadi kelemahan dalam bernafas. Penderita merasa nafasnya berat. Kadang-kadang gejala GBS juga disertai gangguan saraf otonomik, sehingga akan terjadi gangguan saraf simpatik dan para simpatik.   Yang tampak adalah gejala naik-turunnya tekanan darah secara tiba-tiba, atau pasien berkeringat di tempat yang dingin (Pryor & Webber 1998). Bila terjadi gangguan cranial nerves akibatnya adalah tidak bisa menelan, berbicara atau bernafas, atau kelemahan otot-otot muka. Uniknya kelemahan otot biasanya simetris, artinya anggota badan yang kiri mengalami kelemahan yang sama dengan anggota badan kanan.  Sebagai akibat dari gangguan motorik dan sistem saraf otonomik, terjadi gangguan kardiopulmonari. Berawal dari nafas berat, oleh karena kelemahan otot pernafasan (baik otot intercostal maupun diafragma), hingga gangguan ritmik oleh karena gangguan saraf otonomik. Akibatnya fungsi paru menjadi terganggu. Paru tidak bisa mengembang secara maksimal akibatnya kapasitas vital menurun.   Bila kondisi ini berlanjut, bisa terjadi infeksi paru, pneumonia, yang akan memperburuk kondisi.  Ditambah kenyataannya pasien dalam kondisi seperti di atas biasanya hanya terbaring, posisi yang hanya akan menurunkan fungsi paru (Pryor & Webber 1998). Bila fungsi glotis terganggu, akibat terganggunya sistem otonomik, penderita mungkin akan tersedak. Sehingga makanan masuk ke saluran pernafasan, dan akan menambah infeksi paru.  Akibat terganggunya saraf otonomik, irama jantung juga terganggu. Sehingga tekanan darah bisa naik-turun secara mendadak, atau flushing, yaitu muka memerah secara mendadak. Gejala-gejala tersebut akan terus muncul dalam waktu maksimal 2 minggu. Sesudah itu akan berhenti, hingga proses penyembuhan terjadi sekitar 2 sampai 4 minggu sesudah kelemahan berhenti.   Nah itu dia bahasan dari patologi guillain barre syndrome (GBS), dari penjelasan diatas bisa diketahui mengenai penjelasan pengertian guillain barre syndrome (GBS), penjelasan etiologi guillain barre syndrome (GBS), dan penjelasan patofisiologi guillain barre syndrome (GBS). Mungkin hanya itu yang bisa disampaikan dalam artikel ini, mohon maaf bila terjadi kesalahan dalam penulisan, terimakasih telah membaca artikel ini."God Bless and Protect Us"
Patologi Guillain Barre Syndrome ( GBS ) Pada Tubuh Manusia

Patologi Guillain Barre Syndrome ( GBS ) Pada Tubuh Manusia

1. Pengertian Guillain Barre Syndrome

Guillain Barre Syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya progresif. Kelainan ini kadang-kadang juga menyerang saraf sensoris, otonom, maupun susunan saraf pusat.

2. Pengertian Akson dan Selaput Myelin

Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan.

Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya, yang dikenal sebagai Nodus Ranvier, dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat. Sel Saraf

3. Etiologi Guillain Barre Syndrome

Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena hilangnya myelin, material yang membungkus saraf. Hilangnya myelin ini disebut demyelinisasi. Demyelinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama sekali. GBS menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang beberapa saraf.

Oleh karena itu GBS disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP). Meskipun sebagian besar penderita GBS dapat sembuh spontan, namun lama perjalanan penyakit GBS tidak dapat diprediksi dan sering membutuhkan perawatan rumah sakit dan rehabilitasi selama berbulan-bulan. Seiring dengan kembalinya suplai saraf, penderita membutuhkan bantuan untuk mampu menggunakan otot-otot yang terpengaruh oleh GBS secara optimal.

Penyebab terjadinya GBS sampai saat ini belum diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit autoimun. Namun karena kebanyakan kasus terjadi sesudah proses infeksi, diduga GBS terjadi karena sistem kekebalan tidak berfungsi. Gejalanya adalah kelemahan otot (parese hingga plegia), biasanya perlahan, mulai dari bawah ke atas.

Jadi gejala awalnya biasanya tidak bisa berjalan, atau gangguan berjalan. Sebaliknya penyembuhannya diawali dari bagian atas tubuh ke bawah, sehingga bila ada gejala sisa biasanya gangguan berjalan (Fredericks et all 1996). Setelah fase akut terlewati, pasien membutuhkan rehabilitasi untuk mencapai fungsi tubuh yang telah hilang. 

Rehabilitasi ditujukan terutama untuk memperbaiki fungsi aktivitas sehari-hari (AKS), seperti menggosok gigi, mencuci dan berpakaian. Tujuan terapi fisik adalah untuk menstimulasi otot dan sendi, melalui berbagai gerakan fisik dan latihan; sehingga terbentuk kekuatan, fleksibilitas, dan lingkup gerak sendi yang optimal. 

Seorang fisioterapi akan melakukan program latihan progresif dan memberikan petunjuk mengenai gerakan fungsional yang benar, sehingga tidak terjadi kompensasi gerakan yang salah saat penyembuhan. Terapis okupasi memfokuskan terapi pada aktivitas untuk membantu pasien melakukan aktivitasnya sehari-hari secara optimal. 

Dalam terapi, digunakan beberapa alat bantu tambahan seperti brace pada tungkai atau lengan, cane, walker, dan kursi roda untuk membantu mobilisasinya selama fase penyembuhan atau sekiranya GBS membuat penderita hidup dengan disabilitas yang permanen. Penggunaan alat potong bantuan juga diperlukan untuk membuat pasien mandiri dengan aktifitasnya.

Seorang terapis wicara juga berperan penting dalam meningkatkan kemampuan bicara dan menelan pasien. Terapis wicara akan memperbaiki kemampuan penderita dalam berkomunikasi. Semua ini akan tergabung dalam tim dimana dokter, perawat, dan anggota tim medis lainnya dengan pengetahuannya masing-masing, sehingga dapat menentukan tujuan terapi dan prioritas terapi berdasarkan tujuan tersebut. Setelah rehabilitasi, pasien harus mampu berfungsi secara utuh di lingkungan rumahnya masing-masing.

4. Patofisiologi Guillain Barre Syndrome

Ada beberapa teori mengenai pembentukan autoantibodi, yang pertama adalah virus dan bakteri mengubah susunan sel-sel saraf sehingga sistem imun tubuh mengenalinya sebagai benda asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut menyebabkan kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri berkurang. Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan destruksi myelin bahkan kadang-kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon.

Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel-sel saraf tidak dapat mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih sedikit impuls sensoris dari seluruh bagian tubuh. Pemeriksaan secara patologis pada saraf penderita penyakit Guillain Barre Syndrome menunjukkan kalau terjadi proses penghancuran selaput myelin pada saraf tepi.

Baik pada pangkalnya (akar saraf) ataupun pada bagian yang lebih ujung (distal). Pada umumnya yang terserang akar saraf tulang belakang bagian depan (anterior root nerves of spinal cord), tetapi tidak menutup kemungkinan akar saraf bagian belakang (posterior root nerves of spinal cord). Uniknya selaput myelin yang terserang dimulai dari saraf tepi paling bawah, terus naik ke saraf tepi yang lebih tinggi (Fredericks et all 1996, dan Nolte 1999). 

Fungsi selaput myelin adalah mempercepat konduksi saraf. Oleh karenanya hancurnya selaput ini mengakibatkan keterlambatan konduksi saraf, bahkan mungkin terhenti sama sekali (Nolte 1999). Sehingga penderita GBS mengalami gangguan motor dan sensorik. Kelambatan kecepatan konduksi otot bisa dilihat dari hasil pemeriksaan EMG. 

Disamping itu, hancurnya selaput myelin mungkin juga menyerang cranial nerves (Pryor & Webber 1998) termasuk diantaranya nervus vagus, yang merupakan bagian dari sistem saraf otonomik. Oleh karena itu, bila saraf yang terserang cukup tinggi tingkatnya, sistem saraf otonomik mungkin saja terganggu. Selain nervus vagus, cranial nerves yang lain mungkin saja terserang, misalnnya saraf ke-XI.

Gangguan motorik yang pada GBS diawali dengan kelemahan otot bagian bawah. Mula-mula yang dirasakan kelemahan (parese), bila berlanjut menjadi lumpuh (plegia). Diawali dari gangguan berjalan, seperti misalnya kaki ‘terseret’, hingga tidak bisa berdiri. Perlahan-lahan kelemahan ‘naik’ otot lebih tinggi, seperti lutut dan paha, sehingga penderita tidak bisa berdiri. 

Bila yang berlanjut kelemahan otot bisa terjadi pada otot di sepajang tulang punggung, punggung dan dada. Terus hingga ke tangan dan lengan. Bila otot-otot pernafasan terganggu, akan terjadi kelemahan dalam bernafas. Penderita merasa nafasnya berat. Kadang-kadang gejala GBS juga disertai gangguan saraf otonomik, sehingga akan terjadi gangguan saraf simpatik dan para simpatik. 

Yang tampak adalah gejala naik-turunnya tekanan darah secara tiba-tiba, atau pasien berkeringat di tempat yang dingin (Pryor & Webber 1998). Bila terjadi gangguan cranial nerves akibatnya adalah tidak bisa menelan, berbicara atau bernafas, atau kelemahan otot-otot muka. Uniknya kelemahan otot biasanya simetris, artinya anggota badan yang kiri mengalami kelemahan yang sama dengan anggota badan kanan.

Sebagai akibat dari gangguan motorik dan sistem saraf otonomik, terjadi gangguan kardiopulmonari. Berawal dari nafas berat, oleh karena kelemahan otot pernafasan (baik otot intercostal maupun diafragma), hingga gangguan ritmik oleh karena gangguan saraf otonomik. Akibatnya fungsi paru menjadi terganggu. Paru tidak bisa mengembang secara maksimal akibatnya kapasitas vital menurun. 

Bila kondisi ini berlanjut, bisa terjadi infeksi paru, pneumonia, yang akan memperburuk kondisi. 
Ditambah kenyataannya pasien dalam kondisi seperti di atas biasanya hanya terbaring, posisi yang hanya akan menurunkan fungsi paru (Pryor & Webber 1998). Bila fungsi glotis terganggu, akibat terganggunya sistem otonomik, penderita mungkin akan tersedak. Sehingga makanan masuk ke saluran pernafasan, dan akan menambah infeksi paru.

Akibat terganggunya saraf otonomik, irama jantung juga terganggu. Sehingga tekanan darah bisa naik-turun secara mendadak, atau flushing, yaitu muka memerah secara mendadak. Gejala-gejala tersebut akan terus muncul dalam waktu maksimal 2 minggu. Sesudah itu akan berhenti, hingga proses penyembuhan terjadi sekitar 2 sampai 4 minggu sesudah kelemahan berhenti.


Nah itu dia bahasan dari patologi guillain barre syndrome (GBS), dari penjelasan diatas bisa diketahui mengenai penjelasan pengertian guillain barre syndrome (GBS), penjelasan etiologi guillain barre syndrome (GBS), dan penjelasan patofisiologi guillain barre syndrome (GBS). Mungkin hanya itu yang bisa disampaikan dalam artikel ini, mohon maaf bila terjadi kesalahan dalam penulisan, terimakasih telah membaca artikel ini."God Bless and Protect Us"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel